Cirebon, NU OnlineSekitar pukul 21.00, tim Ekspedisi Islam Nusantara berziarah ke makam Sunan Gunung Jati Syekh Syarif Hidayatullah. Mereka sampai persis di ujung doa tahlilan massal yang biasa digelar tiap Kamis malam di kompleks pemakaman yang berjajar rapi.
Kompleks pemakaman terletak di bukit Sembung. Sunan Gunung Jati dimakamkan di bagian paling atas bukit. Di bawah makam Sunan Gunung Jati adalah keturunan-keturunannya dari generasi ke generasi hingga sekarang. Semakin ke bawah, adalah makam paling baru. Jumlahnya ribuan makam.
Berahi kepada Allah di Makam Sunan Gunung Jati (Sumber Gambar : Nu Online) |
Berahi kepada Allah di Makam Sunan Gunung Jati
Meski tahlilan dan doa massal sudah selesai, para peziarah tetap berdatangan. Kemudian berdoa secara berkelompok. Ada juga yang tidak buru-buru pulang. Mereka tiduran di sela-sela antara makam atau bersila sambil meraba biji tasbih seraya mulut komat-kamit.NU Online
Sementara di pendopo, di tengah pemakaman bagian suku bukit, belasan orang mulai menabuh terbang diiringi nyanyian shalawat dengan langgam lambat-lambat. Penampilan mereka membuat para peziarah tertahan pulang. Paling tidak menyaksikan barang semenit dua. Mereka mengabadikannya melalui kamera ponsel.Menurut budayawan Cirebon, Raffan S Hasyim, seni musik yang ditampilkan itu disebut brahi atau birahi. Penamaan birahi maksudnya adalah ekspresi yang mengandung keberahian seorang makhluk kepada khaliknya. Sehingga, kata dia, penyanyi dan pemain musik brahi kadang-kadang tidak jelas suaranya karena bagi mereka yang paling utama adalah menuntaskan berahinya itu.
NU Online
Alat musiknya sendiri, kata dia, sudah ada sebelum Sunan Gunung Jati. Sekitar abad ke-14, alat musik itu telah ada. Tapi dulu ukurannya lebih besar. Penamaan terbang sendiri bisa menimbulkan tafsiran terbang secara ruh menghadap kepada Allah. Mungkin bisa ditafsirkan begitu.Selain shalawat, pelantunnya membaca dikir, untuk mengungkapkan kecintaan kepada Allah. Wujud cinta kepada Allah itu harus dengan senang. Masa kita menghadap Allah dengan kesedihan. Apalagi ini namanya brahi, orang yang birahi tidak mungkin dalam keesedihan. Itu tafsiran saya. Orang kan bisa menafsirkan berbeda, jelas pria yang akrab disapa Opan ini.
Menurut salah seorang pengunjung, mendengarkan musik itu membuatnya merinding. Bagi dia, musik semacam itu adalah ajakan untuk tafakur kepada kebesaran Allah SWT, juga mengundang untuk mmenghampiri pintu tobat.
Mulai tengah malam, peziarah datang dan pergi meninggalkan. Selama 24 jam, suasananya tak jauh beda selain datang berdoa dan pergi. Suara bisik-bisik, alas kaki yang bergesekan dengan ubin, suaran kerincingan koin sedekah, adalah alunan musik lain.
Keluar dari pemakaman, lagu Aishiqui versi remix sampai dua kali diputar. Sumbernya entah dari kios pedagang sebelah mana. Dari penjual vcd keping muncul nyanyian Ya Allah, ya Allah bernuansa dangdut koplo dengan nada adaptasi lagu Jablay miliknya Titi Kamal. Semakin mendekati parkiran yang terdengar adalah suara knalpot motor dan mobil yang baru datang dan akan pulang. (Abdullah Alawi)
Dari (Nasional) Nu Online: http://www.nu.or.id/post/read/66973/berahi-kepada-allah-di-makam-sunan-gunung-jati-
NU Online
EmoticonEmoticon